Cermin - Mencintaimu dalam Hilang
Sabtu,
5 September 2015
Pukul
10:17 WIB
Aku masih di sini.
Berdiri di hadapan sebuah cermin besar dengan pahatan berbentuk bunga yang
mengelilinya. Memperhatikan setiap jengkal tubuhku. Apakah ada bagian yang
nampak tidak sempurna dan indah untuk dilihat. Aku pulas bibirku dengan lipstick matt berwarna pink yang sangat dia
suka. Aku lihat kembali pakaianku hari ini. Sempurna!
Pukul
11:38 WIB
Aku lihat jam tanganku
dan mataku tak bisa berhenti mencari. Aku di sini. Duduk termenung menunggunya
datang. Dengan segelas vanilla latte ice yang ku pesan 20 menit yang lalu di
hadapanku. Hatiku tak bisa berhenti membayangkan wajahnya. Rindu ini rasanya
sudah tak bisa lagi terbendung. Jantungku semakin berdebar, seiring dengan
langkah kakinya yang mulai mendekatiku. Dia membelai lembut tubuhku dengan bayangannya
yang perlahan menyatu dengan bayanganku.
“sudah lama menunggu?”
pertanyaan singkat yang hanya bisa ku balas dengan senyuman dan sebuah pelukan
hangat dalam angan. Kenyataannya, aku hanya bisa menjabat tangannya seraya
berkata “tidak, aku juga baru sampai”.
Dia lalu duduk di
sampingku. Membuat jantungku semakin berdetak kencang dan seperti ingin
berhenti bernapas. Tak ku dengar jelas apa yang dia katakan, yang aku lakukan
hanya melihat wajahnya dan senyum tulusnya. Dia adalah semangat untukku. Senyumnya
adalah kebahagiaan. Matanya penuh pancaran kasih, walaupun dia tidak pernah
mengatakannya, tetapi aku tahu itu semua untukku.
Pukul
13:24 WIB
Pembicaraannya semakin
panjang dan wajahnya semakin menarik untuk terus-menerus ku pandang. Dia tahu
betul saat aku tidak menyimak ceritanya. Dia akan mendekatkan wajahnya ke
wajahku. Membelai lembut pipiku, lalu bibirnya mendekat, dan dia bisikkan di
telingaku “apa menurutmu aku sedang mendongeng?”. Jika sudah demikian, aku
hanya bisa memandangnya dengan tatapan memelas dan mulai memperhatikan
ceritanya.
Awalnya hanya ada canda
dan tawa dalam perbincangan kami, tetapi aku mulai terpancing sedikit emosi
saat dia menceritakan seorang teman wanitanya. Telingaku memanas, hatiku
bergejolak, dan bibirku tak bisa berhenti berbicara. Tidak sadarkah dia bahwa
aku cemburu padanya. Aku hanya ingin dia mengatakan bahwa hanya aku
satu-satunya yang dia cinta, tetapi itu hanya khayalan belaka. Kenyataannya,
dia pergi meninggalkanku di tengah keramaian.
Tubuhku gemetar, napasku
sesak, bendungan air matakupun hampir runtuh. Ku jatuhkan tubuhku di kursi dan
memikirkan dalam-dalam apa yang baru saja terjadi. “salahkah aku? Salahkah yang
aku ucapkan, hingga dia memutuskan untuk meninggalkanku sendiri di tengah
orang-orang yang sedang bercengkrama mesra di depanku”.
Pikiranku kacau,
tatapanku hampa, dan aku hanya bisa diam membisu. Tak ku hiraukan
pandangan-pandangan sinis yang mengarah kepadaku. Aku ambil sehelai tissue dan
ku tutup wajahku. Ku dengar handphoneku
berdering, tanda pesan masuk.
Receive:
Tak
perlu kamu rusak keceriaan kita dengan semua sikap kekanak-kanakanmu itu. Aku
ingin pertemuan kita indah, bukan seperti ini. Lebih baik kamu pulang.
Air mataku menetes
tanpa sempat ku cegah. Aku berusaha menekan tombol-tombol huruf dengan sekuat
tenaga yang ku punya. Aku hanya ingin membalas pesan itu, namun entah kenapa
jari-jemariku justru lemas dan gemetar.
Sent:
Aku
masih ingin tetap di sini. Tak mengapa jika kamu memilih pergi. Aku minta maaf.
Aku tahu yang ku lakukan adalah salah.
Hatiku semakin hancur
berkeping. Sosok yang aku harapkan datang menghampiriku kembali, ternyata pergi
menjauh dariku. Kini aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Aku tak dapat
lagi menahan ini semua. Aku kuatkan kakiku, aku berdiri, dan mulai melangkahkan
kaki keluar dari tempat pertemuan kami. Aku ingin pulang dan menceritakan
kesedihanku pada langit yang mulai menguning.
Tiba-tiba aku merasa
tubuhku ditarik dan aku hampir jatuh ke belakang. “kamu mau kemana?” tanyanya
dengan wajah yang 360 derajat berbeda dengan saat kami pertama bertatapan. Aku
hanya diam membisu dan menganggukkan kepala. “ya sudah, hati-hati” jawabnya
singkat dan dengan cepat dia langkahkan kakinya meninggalkanku. Meninggalkanku
untuk yang kedua kalinya.
Pukul
17:20 WIB
“mengapa dia ada di
belakangku? Sejak kapan? Dia tidak benar-benar meninggalkanku?” pertanyaan itu
terus menghantuiku setelah ku lihat lagi sosoknya yang mulai menjauh. Aku
terhanyut kesedihan. Otakku tak bisa berpikir. Mengapa aku dengan bodohnya
membiarkan dia pergi lagi. Pergi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa saja
terjadi. Kemungkinan bahwa dia akan pergi dan tak pernah kembali lagi.
Pukul
22:17 WIB
Aku kembali berdiri di
hadapan cermin, tetapi dengan ekspresi yang berbeda. Tak ada lagi senyum dan
semangatku. Dia telah membawa semuanya bersama dengan langkah kakinya
meninggalkanku. Ku coba menghubunginya, tetapi hanya kesedihan yang aku
dapatkan. Inikah balasan untuk sebuah rasa cinta berbalut cemburu yang aku
rasakan? Hari-hariku terasa tak berwarna, kini dia tak lagi ada. Begitu
mudahnya dia melupakanku? Begitukah cintanya yang selama ini aku banggakan?.
Ini tidak adil. Kenyataannya, aku rapuh tanpa dia.
Sabtu,
5 September 2015
Pukul
13:24 WIB
Dia mendekatkan
wajahnya ke wajahku. Membelai lembut pipiku, lalu bibirnya mendekat, dan dia
bisikkan di telingaku “apa menurutmu aku sedang mendongeng?”.
“Apa?” jawabku terkejut
mendengar suaranya.
“Aku sedang mendongeng
ya?”
“Tidak sayang, maaf”
jawabku sambil tersenyum dan menggenggam erat tangannya.
“Kenapa matamu jadi
berkaca-kaca seperti itu? Apa aku salah bicara?”
Aku dekatkan bibirku ke
telinganya, lalu aku bisikkan “Tidak sayang. I love you. I love you to the moon and back”.
Pukul
13:28 WIB
Terima kasih Tuhan, itu
hanya lamunan.
Jakarta, 22 September
2015
Ulfa Rahmatania
# Karena kita tidak
pernah tahu, sampai kapan kita akan terus bersama orang yang kita cintai. Maka
gunakanlah waktu yang ada dan buatlah indah. Seperti nyanyian Meghan Trainor
ft. John Legend, I'm gonna love you like I'm gonna lose you..