Selasa, 29 September 2015



Sabtu, 5 September 2015
Pukul 10:17 WIB
Aku masih di sini. Berdiri di hadapan sebuah cermin besar dengan pahatan berbentuk bunga yang mengelilinya. Memperhatikan setiap jengkal tubuhku. Apakah ada bagian yang nampak tidak sempurna dan indah untuk dilihat. Aku pulas bibirku dengan lipstick matt berwarna pink yang sangat dia suka. Aku lihat kembali pakaianku hari ini. Sempurna!

Pukul 11:38 WIB
Aku lihat jam tanganku dan mataku tak bisa berhenti mencari. Aku di sini. Duduk termenung menunggunya datang. Dengan segelas vanilla latte ice yang ku pesan 20 menit yang lalu di hadapanku. Hatiku tak bisa berhenti membayangkan wajahnya. Rindu ini rasanya sudah tak bisa lagi terbendung. Jantungku semakin berdebar, seiring dengan langkah kakinya yang mulai mendekatiku. Dia membelai lembut tubuhku dengan bayangannya yang perlahan menyatu dengan bayanganku.
“sudah lama menunggu?” pertanyaan singkat yang hanya bisa ku balas dengan senyuman dan sebuah pelukan hangat dalam angan. Kenyataannya, aku hanya bisa menjabat tangannya seraya berkata “tidak, aku juga baru sampai”.
Dia lalu duduk di sampingku. Membuat jantungku semakin berdetak kencang dan seperti ingin berhenti bernapas. Tak ku dengar jelas apa yang dia katakan, yang aku lakukan hanya melihat wajahnya dan senyum tulusnya. Dia adalah semangat untukku. Senyumnya adalah kebahagiaan. Matanya penuh pancaran kasih, walaupun dia tidak pernah mengatakannya, tetapi aku tahu itu semua untukku.

Pukul 13:24 WIB
Pembicaraannya semakin panjang dan wajahnya semakin menarik untuk terus-menerus ku pandang. Dia tahu betul saat aku tidak menyimak ceritanya. Dia akan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Membelai lembut pipiku, lalu bibirnya mendekat, dan dia bisikkan di telingaku “apa menurutmu aku sedang mendongeng?”. Jika sudah demikian, aku hanya bisa memandangnya dengan tatapan memelas dan mulai memperhatikan ceritanya.
Awalnya hanya ada canda dan tawa dalam perbincangan kami, tetapi aku mulai terpancing sedikit emosi saat dia menceritakan seorang teman wanitanya. Telingaku memanas, hatiku bergejolak, dan bibirku tak bisa berhenti berbicara. Tidak sadarkah dia bahwa aku cemburu padanya. Aku hanya ingin dia mengatakan bahwa hanya aku satu-satunya yang dia cinta, tetapi itu hanya khayalan belaka. Kenyataannya, dia pergi meninggalkanku di tengah keramaian.
Tubuhku gemetar, napasku sesak, bendungan air matakupun hampir runtuh. Ku jatuhkan tubuhku di kursi dan memikirkan dalam-dalam apa yang baru saja terjadi. “salahkah aku? Salahkah yang aku ucapkan, hingga dia memutuskan untuk meninggalkanku sendiri di tengah orang-orang yang sedang bercengkrama mesra di depanku”.
Pikiranku kacau, tatapanku hampa, dan aku hanya bisa diam membisu. Tak ku hiraukan pandangan-pandangan sinis yang mengarah kepadaku. Aku ambil sehelai tissue dan ku tutup wajahku. Ku dengar handphoneku berdering, tanda pesan masuk.
Receive:
Tak perlu kamu rusak keceriaan kita dengan semua sikap kekanak-kanakanmu itu. Aku ingin pertemuan kita indah, bukan seperti ini. Lebih baik kamu pulang.
Air mataku menetes tanpa sempat ku cegah. Aku berusaha menekan tombol-tombol huruf dengan sekuat tenaga yang ku punya. Aku hanya ingin membalas pesan itu, namun entah kenapa jari-jemariku justru lemas dan gemetar.
Sent:
Aku masih ingin tetap di sini. Tak mengapa jika kamu memilih pergi. Aku minta maaf. Aku tahu yang ku lakukan adalah salah.
Hatiku semakin hancur berkeping. Sosok yang aku harapkan datang menghampiriku kembali, ternyata pergi menjauh dariku. Kini aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Aku tak dapat lagi menahan ini semua. Aku kuatkan kakiku, aku berdiri, dan mulai melangkahkan kaki keluar dari tempat pertemuan kami. Aku ingin pulang dan menceritakan kesedihanku pada langit yang mulai menguning.
Tiba-tiba aku merasa tubuhku ditarik dan aku hampir jatuh ke belakang. “kamu mau kemana?” tanyanya dengan wajah yang 360 derajat berbeda dengan saat kami pertama bertatapan. Aku hanya diam membisu dan menganggukkan kepala. “ya sudah, hati-hati” jawabnya singkat dan dengan cepat dia langkahkan kakinya meninggalkanku. Meninggalkanku untuk yang kedua kalinya.

Pukul 17:20 WIB
“mengapa dia ada di belakangku? Sejak kapan? Dia tidak benar-benar meninggalkanku?” pertanyaan itu terus menghantuiku setelah ku lihat lagi sosoknya yang mulai menjauh. Aku terhanyut kesedihan. Otakku tak bisa berpikir. Mengapa aku dengan bodohnya membiarkan dia pergi lagi. Pergi dengan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Kemungkinan bahwa dia akan pergi dan tak pernah kembali lagi.

Pukul 22:17 WIB
Aku kembali berdiri di hadapan cermin, tetapi dengan ekspresi yang berbeda. Tak ada lagi senyum dan semangatku. Dia telah membawa semuanya bersama dengan langkah kakinya meninggalkanku. Ku coba menghubunginya, tetapi hanya kesedihan yang aku dapatkan. Inikah balasan untuk sebuah rasa cinta berbalut cemburu yang aku rasakan? Hari-hariku terasa tak berwarna, kini dia tak lagi ada. Begitu mudahnya dia melupakanku? Begitukah cintanya yang selama ini aku banggakan?. Ini tidak adil. Kenyataannya, aku rapuh tanpa dia.

Sabtu, 5 September 2015
Pukul 13:24 WIB
Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Membelai lembut pipiku, lalu bibirnya mendekat, dan dia bisikkan di telingaku “apa menurutmu aku sedang mendongeng?”.
“Apa?” jawabku terkejut mendengar suaranya.
“Aku sedang mendongeng ya?”
“Tidak sayang, maaf” jawabku sambil tersenyum dan menggenggam erat tangannya.
“Kenapa matamu jadi berkaca-kaca seperti itu? Apa aku salah bicara?”
Aku dekatkan bibirku ke telinganya, lalu aku bisikkan “Tidak sayang. I love you. I love you to the moon and back”.

Pukul 13:28 WIB
Terima kasih Tuhan, itu hanya lamunan.


Jakarta, 22 September 2015
Ulfa Rahmatania

# Karena kita tidak pernah tahu, sampai kapan kita akan terus bersama orang yang kita cintai. Maka gunakanlah waktu yang ada dan buatlah indah. Seperti nyanyian Meghan Trainor ft. John Legend, I'm gonna love you like I'm gonna lose you..

Ruang Ulfa . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates