Review Novel Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo
Mas Marco Kartodikromo di Student
Hidjo
Judul buku : Student Hidjo
Penulis : Marco Kartodikromo
Penerbit : Yayasan Aksara Indonesia
Tahun terbit : 1919
Tebal : 212 halaman
Novel
karangan Marco Kartodikromo atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mas Marco
ini pada awalnya dimuat sebagai cerita bersambung di surat kabar Sinar Hindia pada tahun 1918. Student
Hidjo dibuat saat Mas Marco sedang menjalani hukuman perkara persdelict di Civiel en Militair Gevangenhuis di Weltevreden,
selama satu tahun. Buah pena ini bisa dikatakan sebagai “bacaan liar” yang
sangat menggambarkan penulisnya.
Selama
hidupnya, Mas Marco dikenal sebagai seorang perintis
jurnalis yang kukuh memegang prinsip pergerakan. Dia adalah orang yang paling
produktif dalam menghasilkan “bacaan liar”. [1]
Aktivitas geraknya telah membuat ia ditangkap dan dipenjara beberapa kali.
Sebagian besar karya sastranya lahir di dalam penjara. Di akhir hidupnya, Mas
Marco kembali ditahan pemerintah kolonial dan dibuang ke Boven Digoel, serta
meninggal di sana.
Student Hidjo, merupakan sebuah novel sastra
yang memiliki alur cerita sederhana. Namun, jika diteliti secara mendalam
banyak ditemukan hal-hal menarik yang tersirat dari setiap barisnya. Mas Marco,
menggambarkan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya sebagai penggambaran masa
lalu. Tokoh-tokoh yang ditampilkan seolah menjadi jelmaan sosok Mas Marco,
contohnya adalah Hidjo. Hidjo yang dibuat mencintai Belanda, tetapi juga
mencintai Hindia.
Hidjo,
adalah seorang anak laki-laki dari kalangan borjuis kecil yang berusaha
menaikkan kelas sosialnya dengan pergi sekolah ke Nederland, Belanda. Dengan
berani, Hidjo pergi ke Belanda dan bergaul dengan orang-orang yang ada di sana.
Sikap ramah yang diterimanya, membuat Hidjo semakin terbuai tinggal di Belanda.
Sampai adat pergaulannya pun mulai terpengaruh dengan kebudayaan Barat yang
bebas. Kenikmatan ini pula yang mungkin disukai oleh Mas Marco yang menyukai
Barat.
Penokohan
Hidjo juga dibuat seperti seorang laki-laki sempurna yang mudah disukai oleh
banyak wanita, termasuk wanita-wanita Belanda. Wanita-wanita Belanda di novel
ini digambarkan sebagai wanita penggoda.
Selain itu, karena Hidjo sudah dengan jelas menolak jika harus hidup
bersama seorang wanita Belanda. Sesudah ia merasakan kesenangan, Hidjo dengan
bebas meninggalkan wanita itu dan hanya memberinya uang sebagai sebuah bentuk
penghargaan.
Hal
ini bisa memberikan makna bahwa wanita Belanda mudah dibeli harga dirinya.
Sikap mudah tertarik pada kaum lelaki, agresif, dan berani ini yang kemungkinan
menjadi salah satu alasan Belanda tidak meloloskan Student Hidjo di Balai
Pustaka. Mas Marco, secara tidak sengaja sudah menjelek-jelekan Belanda
dengan sosok-sosok wanita “nakal” dalam novel ini dan membuat nama Belanda
tampak buruk jika novel ini tetap terbit.
Tokoh
lain yang juga dianggap sebagai diri Mas Marco adalah Raden Mas Wardoyo yang
diceritakan sebagai salah satu anggota Sarekat Islam. Sarekat Islam sendiri
menjadi salah satu latar dalam novel ini. Kongres besar Sarekat Islam di
Sriwedari, Solo menjadi salah satu acara yang paling ditunggu oleh masyarakat
yang ada di sana. Keramaian di Sriwedari menjadi salah satu hal yang menarik
antusias masyarakat untuk menghadiri acara tersebut. Mas Marco membuat bab
khusus untuk menceritakan suasana kongres Sarekat Islam, yaitu pada bab XV.
“Familinya Regent Jarak datang di
Solo”.
Bab
khusus ini tentu bukanlah tanpa alasan. Cukup jelasnya penggambaran Mas Marco
tentang Sarekat Islam ini ternyata juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup Mas
Marco sendiri yang pernah menjadi Sekretaris II Sarekat Islam Solo. Kecintaan
dan kerinduannya nya pada organisasi inilah yang mungkin membuatnya menulis bab
khusus. Rasa sepi yang ia alami selama di penjara tentu akan membuatnya sangat
merindukan kehidupan masa lalunya.
Kehidupan
penjara tentu bukanlah hal yang menyenangkan untuk diingat. Idealisme Mas Marco
yang tampak dari keterlibatannya dengan kaum kiri di Indonesia membuatnya lama
dikurung di dalam jeruji besi dan mengalami pengasingan dari Belanda yang harus
ia terima. Pada masa itu, ia terlibat dalam pemberontakan komunis yang gagal
pada tahun 1926. Sampai akhirnya ia dibuang ke Digul dan menghembuskan napas
terakhir karena malaria.[2]
Terlepas
dari sosok Mas Marco Kartodikromo yang memiliki sejarah hidup yang menarik.
Novel ini cukup menghibur kita dengan cerita yang sederhana dan cukup mudah
dipahami. Penggunaan beberapa bahasa dalam novel ini, antara lain bahasa
Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Belanda juga menjadi salah satu hal menarik
dari novel ini. penggambaran tokoh-tokohnya dan kisah cinta mereka yang
berakhir bahagia, tentu menjadi akhir cerita yang akan membuat pembaca merasa
senang.
[1] Rosida Erowati
dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra
Indonesia, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011),
hlm. 26
[2] Mas Marco
Kartodikromo dalam Ensiklopedia Jakarta http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1855/Mas-Marco-Kartodikromo diunduh pada tanggal 13 April 2014 pukul 21:17 WIB