Sabtu, 17 Mei 2014

Mas Marco Kartodikromo di Student Hidjo

Judul buku       : Student Hidjo
Penulis             : Marco Kartodikromo
Penerbit           : Yayasan Aksara Indonesia
Tahun terbit     : 1919
Tebal               : 212 halaman

Novel karangan Marco Kartodikromo atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mas Marco ini pada awalnya dimuat sebagai cerita bersambung di surat kabar Sinar Hindia pada tahun 1918. Student Hidjo dibuat saat Mas Marco sedang menjalani hukuman perkara persdelict di Civiel en Militair Gevangenhuis di Weltevreden, selama satu tahun. Buah pena ini bisa dikatakan sebagai “bacaan liar” yang sangat menggambarkan penulisnya.
Selama hidupnya, Mas Marco dikenal sebagai seorang perintis jurnalis yang kukuh memegang prinsip pergerakan. Dia adalah orang yang paling produktif dalam menghasilkan “bacaan liar”. [1] Aktivitas geraknya telah membuat ia ditangkap dan dipenjara beberapa kali. Sebagian besar karya sastranya lahir di dalam penjara. Di akhir hidupnya, Mas Marco kembali ditahan pemerintah kolonial dan dibuang ke Boven Digoel, serta meninggal di sana.
Student Hidjo, merupakan sebuah novel sastra yang memiliki alur cerita sederhana. Namun, jika diteliti secara mendalam banyak ditemukan hal-hal menarik yang tersirat dari setiap barisnya. Mas Marco, menggambarkan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya sebagai penggambaran masa lalu. Tokoh-tokoh yang ditampilkan seolah menjadi jelmaan sosok Mas Marco, contohnya adalah Hidjo. Hidjo yang dibuat mencintai Belanda, tetapi juga mencintai Hindia.
Hidjo, adalah seorang anak laki-laki dari kalangan borjuis kecil yang berusaha menaikkan kelas sosialnya dengan pergi sekolah ke Nederland, Belanda. Dengan berani, Hidjo pergi ke Belanda dan bergaul dengan orang-orang yang ada di sana. Sikap ramah yang diterimanya, membuat Hidjo semakin terbuai tinggal di Belanda. Sampai adat pergaulannya pun mulai terpengaruh dengan kebudayaan Barat yang bebas. Kenikmatan ini pula yang mungkin disukai oleh Mas Marco yang menyukai Barat.
Penokohan Hidjo juga dibuat seperti seorang laki-laki sempurna yang mudah disukai oleh banyak wanita, termasuk wanita-wanita Belanda. Wanita-wanita Belanda di novel ini digambarkan sebagai wanita penggoda.  Selain itu, karena Hidjo sudah dengan jelas menolak jika harus hidup bersama seorang wanita Belanda. Sesudah ia merasakan kesenangan, Hidjo dengan bebas meninggalkan wanita itu dan hanya memberinya uang sebagai sebuah bentuk penghargaan.
Hal ini bisa memberikan makna bahwa wanita Belanda mudah dibeli harga dirinya. Sikap mudah tertarik pada kaum lelaki, agresif, dan berani ini yang kemungkinan menjadi salah satu alasan Belanda tidak meloloskan Student Hidjo di Balai Pustaka. Mas Marco, secara tidak sengaja sudah menjelek-jelekan Belanda dengan sosok-sosok wanita “nakal” dalam novel ini dan membuat nama Belanda tampak buruk jika novel ini tetap terbit.
Tokoh lain yang juga dianggap sebagai diri Mas Marco adalah Raden Mas Wardoyo yang diceritakan sebagai salah satu anggota Sarekat Islam. Sarekat Islam sendiri menjadi salah satu latar dalam novel ini. Kongres besar Sarekat Islam di Sriwedari, Solo menjadi salah satu acara yang paling ditunggu oleh masyarakat yang ada di sana. Keramaian di Sriwedari menjadi salah satu hal yang menarik antusias masyarakat untuk menghadiri acara tersebut. Mas Marco membuat bab khusus untuk menceritakan suasana kongres Sarekat Islam, yaitu pada bab XV. “Familinya Regent Jarak datang di Solo”.
Bab khusus ini tentu bukanlah tanpa alasan. Cukup jelasnya penggambaran Mas Marco tentang Sarekat Islam ini ternyata juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup Mas Marco sendiri yang pernah menjadi Sekretaris II Sarekat Islam Solo. Kecintaan dan kerinduannya nya pada organisasi inilah yang mungkin membuatnya menulis bab khusus. Rasa sepi yang ia alami selama di penjara tentu akan membuatnya sangat merindukan kehidupan masa lalunya.
Kehidupan penjara tentu bukanlah hal yang menyenangkan untuk diingat. Idealisme Mas Marco yang tampak dari keterlibatannya dengan kaum kiri di Indonesia membuatnya lama dikurung di dalam jeruji besi dan mengalami pengasingan dari Belanda yang harus ia terima. Pada masa itu, ia terlibat dalam pemberontakan komunis yang gagal pada tahun 1926. Sampai akhirnya ia dibuang ke Digul dan menghembuskan napas terakhir karena malaria.[2]
Terlepas dari sosok Mas Marco Kartodikromo yang memiliki sejarah hidup yang menarik. Novel ini cukup menghibur kita dengan cerita yang sederhana dan cukup mudah dipahami. Penggunaan beberapa bahasa dalam novel ini, antara lain bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Belanda juga menjadi salah satu hal menarik dari novel ini. penggambaran tokoh-tokohnya dan kisah cinta mereka yang berakhir bahagia, tentu menjadi akhir cerita yang akan membuat pembaca merasa senang.




[1] Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011), hlm. 26
[2] Mas Marco Kartodikromo dalam Ensiklopedia Jakarta http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1855/Mas-Marco-Kartodikromo diunduh pada tanggal 13 April 2014 pukul 21:17 WIB

Ruang Ulfa . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates