Senin, 11 Agustus 2014


Judul buku       : Merantau ke Deli
Penulis             : Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Penerbit           : Bulan Bintang
Tahun terbit     : 1977
Tebal               : 193 halaman

Kata poligami tentu sudah tidak asing lagi di telinga. Kata poligami seringkali kita temukan di media masa yang membahas perkawinan para pejabat atau ulama yang memiliki istri lebih dari satu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata po-li-ga-mi berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.
Merantau ke Deli karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) cukup menggambarkan bagaimana kondisi rumah tangga yang mengalami poligami. Bagi seorang wanita, tentu poligami adalah hal yang paling tidak diinginkan. Namun, bagaimana jika hal itu sudah terjadi? Bersikap seperti tokoh Poniem adalah salah satu solusi. Menjadi seorang wanita dewasa yang baik, lemah lembut, penurut, dan perhatian tidak lantas membuatnya mendapat balasan yang baik dari sang suami, Leman. Leman yang berasal dari Minang, akhirnya menikah lagi dengan seorang wanita Minang bernama Mariatun.
Pernikahan itu bermula saat Leman kembali ke kampung halamannya. Keluarganya lalu meminta Leman untuk menikah dengan seorang wanita Minang pula, jika ia masih ingin dianggap sebagai anggota keluarga. Leman yang saat itu sudah menikah dengan Poniem akhirnya menerima tawaran tersebut. Seiring berjalannya waktu, poligami yang dilakukan Leman tidak lagi berjalan baik. Poniem dan Mariatun bersikap seperti dua orang yang saling bermusuhan.
Tidak harmonisnya rumah tangga Leman dengan kedua istrinya, sudah diperkirakan jauh-jauh hari oleh Bagindo Kayo. Sosok lelaki tua yang bijaksana. Bagindo Kayo, sering kali dianggap sebagai sosok Hamka dalam novel ini. Pendapat Bagindo Kayo yang menentang poligami disebut sebagai bentuk Hamka menentang poligami dalam adat Minang. Hal ini bisa saja terjadi, karena latar belakang Hamka yang juga berasal dari keluarga yang poligami.
Pendapat lain juga mengatakan dengan Merantau ke Deli, Hamka telah menulis sebuah novel emansipasi bagi kaum lelaki Minangkabau. Keberatan itu ditujukan kepada struktur keluarga serta sistem adat matrilineal dan matrilokal. Keluarga dan adat mempraktekkan tekanan moral kepada kaum pria.[1] Poligami yang dahulu dianggap menguntungkan kaum laki-laki, lalu diputar balik oleh Hamka. Poligami digambarkan tak lagi indah dan membawa petaka bagi Leman. Usaha yang ia jalankan selama beberapa tahun bersama Poniem hancur begitu saja, setelah kepergian Poniem akibat talak tiga yang ia jatuhkan.
Jika berpijak pada hukum agama islam yang mengijinkan pernikahan lebih dari satu itu memiliki syarat dapat berlaku adil. Maka manusia biasa tidak mungkin dapat melakukan hal itu. Bagaimana mungkin seorang lelaki dapat memandang sama kedua istrinya yang dari tampilan fisiknya saja sudah berbeda. Seperti yang banyak orang katakan, jika yang menjadi kelemahan laki-laki adalah harta, tahta, dan wanita. Itu pula masalah yang tengah dihadapi oleh Leman.
Harta yang melimpah dan tahta yang tinggi membuatnya dengan mudah melupakan sosok Poniem yang selama ini setia menemaninya sejak ia masih merintis usaha dari nol. Saat ia menemukan seorang wanita cantik yang terlihat sempurna, dengan mudah ia mengabaikan wanita yang selama ini membantunya menghadapi keterpurukan hidup. Rasa bimbang tentu ada dalam benak Leman. Namun, naluri lelaki Leman tak bisa berdusta.
Sebagai seorang wanita yang dirugikan, Poniem tidak menunjukkan rasa dendam yang mendalam kepada Leman dan Mariatun. Sikap wanita Jawa yang lembut ini digambarkan Hamka dengan penuh perasaan. Seolah-olah, wanita Jawa ini adalah gambaran seorang wanita yang disukai oleh Hamka untuk dijadikan pendamping. Wanita Jawa yang penurut dan tidak banyak menuntut tentu sangatlah kontras dengan wanita Minang yang digambarkan dalam Merantau ke Deli.
Kemungkinan diri Hamka sendiri yang memang menyukai wanita Jawa dapat dilihat saat ia menikah dengan seorang wanita Jawa. Hamka diketahui juga tidak melakukan poligami dengan wanita Minang sebagaimana adat kampung halamannya. Hal ini tentu sudah menjadi sebuah bentuk pertentangan Hamka dengan adat tersebut. Kekangan adat yang ingin dilepaskan oleh Hamka tidak hanya ia tuangkan dalam Merantau ke Deli, tetapi juga dalam kehidupannya.
Pada dasarnya, pernikahan adalah sebuah ikatan suci antara dua orang manusia dengan Tuhan. Janji yang sudah diucapkan tidak hanya sekedar ucapan. Melainkan sebuah ikatan yang harus selalu didukung dengan hubungan yang saling harmonis dan penuh kasih sayang. Nafsu yang membelenggu haruslah bisa diredakan dengan lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa. Merantau ke Deli memberikan banyak nilai kehidupan yang penuh hikmah.




[1] Tineke Hellwig diterjemahkan oleh Rika Iffati Farikha, In The Shadow of Change Images of Woman in Indonesia Literature [Bercermin dalam Bayangan Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia], (Depok: Desantara, 2003), hlm. 30

Ruang Ulfa . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates