Memandang Poligami di Merantau ke Deli
Judul buku : Merantau ke Deli
Penulis : Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Penerbit : Bulan Bintang
Tahun terbit : 1977
Tebal : 193 halaman
Kata
poligami tentu sudah tidak asing lagi di telinga. Kata poligami seringkali kita
temukan di media masa yang membahas perkawinan para pejabat atau ulama yang
memiliki istri lebih dari satu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata po-li-ga-mi berarti sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu
yang bersamaan.
Merantau ke Deli karya Haji Abdul Malik Karim
Amrullah (HAMKA) cukup menggambarkan bagaimana kondisi rumah tangga yang
mengalami poligami. Bagi seorang wanita, tentu poligami adalah hal yang paling
tidak diinginkan. Namun, bagaimana jika hal itu sudah terjadi? Bersikap seperti
tokoh Poniem adalah salah satu solusi. Menjadi seorang wanita dewasa yang baik,
lemah lembut, penurut, dan perhatian tidak lantas membuatnya mendapat balasan
yang baik dari sang suami, Leman. Leman yang berasal dari Minang, akhirnya
menikah lagi dengan seorang wanita Minang bernama Mariatun.
Pernikahan
itu bermula saat Leman kembali ke kampung halamannya. Keluarganya lalu meminta
Leman untuk menikah dengan seorang wanita Minang pula, jika ia masih ingin
dianggap sebagai anggota keluarga. Leman yang saat itu sudah menikah dengan
Poniem akhirnya menerima tawaran tersebut. Seiring berjalannya waktu, poligami
yang dilakukan Leman tidak lagi berjalan baik. Poniem dan Mariatun bersikap
seperti dua orang yang saling bermusuhan.
Tidak
harmonisnya rumah tangga Leman dengan kedua istrinya, sudah diperkirakan
jauh-jauh hari oleh Bagindo Kayo. Sosok lelaki tua yang bijaksana. Bagindo
Kayo, sering kali dianggap sebagai sosok Hamka dalam novel ini. Pendapat
Bagindo Kayo yang menentang poligami disebut sebagai bentuk Hamka menentang
poligami dalam adat Minang. Hal ini bisa saja terjadi, karena latar belakang Hamka
yang juga berasal dari keluarga yang poligami.
Pendapat
lain juga mengatakan dengan Merantau ke
Deli, Hamka telah menulis sebuah novel emansipasi bagi kaum lelaki
Minangkabau. Keberatan itu ditujukan kepada struktur keluarga serta sistem adat
matrilineal dan matrilokal. Keluarga dan adat mempraktekkan tekanan moral
kepada kaum pria.[1]
Poligami yang dahulu dianggap menguntungkan kaum laki-laki, lalu diputar balik
oleh Hamka. Poligami digambarkan tak lagi indah dan membawa petaka bagi Leman.
Usaha yang ia jalankan selama beberapa tahun bersama Poniem hancur begitu saja,
setelah kepergian Poniem akibat talak tiga yang ia jatuhkan.
Jika
berpijak pada hukum agama islam yang mengijinkan pernikahan lebih dari satu itu
memiliki syarat dapat berlaku adil. Maka manusia biasa tidak mungkin dapat
melakukan hal itu. Bagaimana mungkin seorang lelaki dapat memandang sama kedua
istrinya yang dari tampilan fisiknya saja sudah berbeda. Seperti yang banyak
orang katakan, jika yang menjadi kelemahan laki-laki adalah harta, tahta, dan
wanita. Itu pula masalah yang tengah dihadapi oleh Leman.
Harta
yang melimpah dan tahta yang tinggi membuatnya dengan mudah melupakan sosok
Poniem yang selama ini setia menemaninya sejak ia masih merintis usaha dari nol.
Saat ia menemukan seorang wanita cantik yang terlihat sempurna, dengan mudah ia
mengabaikan wanita yang selama ini membantunya menghadapi keterpurukan hidup.
Rasa bimbang tentu ada dalam benak Leman. Namun, naluri lelaki Leman tak bisa
berdusta.
Sebagai
seorang wanita yang dirugikan, Poniem tidak menunjukkan rasa dendam yang
mendalam kepada Leman dan Mariatun. Sikap wanita Jawa yang lembut ini
digambarkan Hamka dengan penuh perasaan. Seolah-olah, wanita Jawa ini adalah
gambaran seorang wanita yang disukai oleh Hamka untuk dijadikan pendamping.
Wanita Jawa yang penurut dan tidak banyak menuntut tentu sangatlah kontras
dengan wanita Minang yang digambarkan dalam Merantau
ke Deli.
Kemungkinan
diri Hamka sendiri yang memang menyukai wanita Jawa dapat dilihat saat ia
menikah dengan seorang wanita Jawa. Hamka diketahui juga tidak melakukan
poligami dengan wanita Minang sebagaimana adat kampung halamannya. Hal ini
tentu sudah menjadi sebuah bentuk pertentangan Hamka dengan adat tersebut.
Kekangan adat yang ingin dilepaskan oleh Hamka tidak hanya ia tuangkan dalam Merantau ke Deli, tetapi juga dalam
kehidupannya.
Pada
dasarnya, pernikahan adalah sebuah ikatan suci antara dua orang manusia dengan
Tuhan. Janji yang sudah diucapkan tidak hanya sekedar ucapan. Melainkan sebuah
ikatan yang harus selalu didukung dengan hubungan yang saling harmonis dan
penuh kasih sayang. Nafsu yang membelenggu haruslah bisa diredakan dengan lebih
mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa. Merantau
ke Deli memberikan banyak nilai kehidupan yang penuh hikmah.
[1] Tineke
Hellwig diterjemahkan oleh Rika Iffati Farikha, In The Shadow of Change Images of Woman in Indonesia Literature
[Bercermin dalam Bayangan Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia], (Depok:
Desantara, 2003), hlm. 30