Dari Ave Maria Menembus Heiho ke Jalan Lain ke Roma
Judul buku : dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Penulis : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun terbit : 2010 (Cetakan ke-27)
Tebal : 176 halaman
Berada
dalam masa pendudukan Jepang tentu bukan hal yang mudah untuk para penulis
dengan ideologinya saat itu. Terdapat beberapa pengarang yang masih menulis
karya-karya untuk kepentingan Jepang sebagai bagian dari propaganda Jepang,
baik berupa puisi, novel dan drama.[1]
Karya sastra yang mendukung Jepang tentu akan diterbitkan, sedangkan yang tidak
mendukung Jepang akan mengalami hal sebaliknya.
Idrus
sebagai salah satu pengarang pada masa Jepang telah menyalurkan imajinasinya
dalam dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma. Meskipun demikian, Idrus
tidak terpikat dengan lembaga milik Jepang yang memobilisasi potensi seniman
budayawan yang bernama Keimin Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan.
Banyak karya sastra yang baru diterbitkan setelah kemerdekaan, salah satunya
adalah dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma karya Idrus yang baru diterbitkan pertama kali pada tahun 1948.
Kumpulan
dua belas karya sastra milik Idrus ini bisa dikatakan merupakan sebuah catatan sejarah
yang pernah dialami oleh Indonesia. Mulai dari “Zaman Jepang”, “Corat-coret di
Bawah Tanah”, dan “Sesudah 17 Agustus 1945”. Pada “Zaman Jepang” Idrus
menuliskan Ave Maria yang juga
menjadi cerita pembuka. Kisah cinta segitiga antarsaudara yang akhirnya membuat
salah satu di antara mereka harus mengalah. Kisah romantis nan menyedihkan ini
disuguhkan Idrus untuk menarik minat pembaca yang lebih mudah tersentuh dengan
tema cinta daripada tema lainnya.
Zulbahri
harus merelakan istrinya Wartini untuk bersama adik kandungnya Syamsu. Hal itu
tentu bukanlah perkara yang mudah. Konflik batin Zulbahri muncul dan terasa
begitu kuat saat ia menceritakan kehidupannya setelah meninggalkan Wartini dan
bertemu dengan sebuah keluarga. Meskipun pada akhir cerita Zulbahri dituliskan
masuk ke dalam barisan jibaku yang menandakan akan ada cerita lainnya mengenai
Jepang, cerita cinta segitiga dalam cerpen ini tetap lebih dominan.
Ji-ba-ku
atau ber-ji-ba-ku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menyerang musuh
dengan jalan menubrukkan dirinya (yang sudah dipersenjatai dengan bom atau alat
peledak lainnya) pada musuh. Zulbahri diceritakan mengikuti barisan jibaku bisa
saja disebabkan rasa putus asanya karena Wartini lebih memilih Syamsu untuk
menjadi pendamping hidupnya. Walaupun pada teks tertulis bahwa semua itu
dilakukan dengan tulus untuk Negara.
Pada
cerita kedua yang diangkat, yaitu Heiho
Idrus menggambarkan seorang lelaki yang sangat ingin menjadi Heiho atau
pembantu serdadu Jepang yang terdiri dari orang Indonesia. Kartono hingga rela
meninggalkan sang istri Miarti demi keinginannya menjadi Heiho. Sampai akhirnya
Miarti menikah lagi dengan lelaki lain dan hamil. Seperti halnya Zulbahri,
Kartono tetap pada pilihannya mengikuti Jepang dengan menjadi barisan jibaku dan
Heiho.
Jika
diperhatikan, ada keterkaitan cerita antara Ave
Maria dengan Heiho. Kedua
tokohnya, Zulbahri dan Kartono memiliki kehidupan cinta yang hampir sama.
Mereka ditinggal oleh wanita yang mereka cintai. Keputusan bulat mereka pun
sama. Bahkan bisa dikatakan bahwa narator dalam Ave Maria dengan Heiho merupakan
orang yang sama. Dalam Ave Maria baru
diceritakan tentang seorang lelaki yang akan masuk barisan jibaku. Sedangkan,
dalam Heiho melanjutkan cerita dengan
menggambarkan kondisi saat itu jika ingin menjadi Heiho, sudah menjadi Heiho,
dan konsekuensi apa yang harus diterima.
Cerita
mulai terlihat lebih berkembang saat tokoh seorang tua dan anaknya Akhmad
mengomentari Kartono yang sudah menjadi Heiho. Dari dialog orang tua dan anak
ini, bisa dikatakan sebagai pertentangan hati Idrus tentang Heiho yang ada di
Indonesia. “Mat, lihat itu Heiho. Politik Nippon halus betul. Dicarinya
orang-orang udik untuk menjadi Heiho. Bersepatu saja ia belum pandai.[2]”.
Setelah mendukung pernyataan sang ayah, si anak ini juga melakukan penentangan
perkataan sang ayah. Hal itu dapat diartikan sebagai bentuk kebimbangan Idrus mengenai
Heiho. Di satu sisi, ia bisa jadi sangat membenci Jepang yang sudah membentuk
Heiho dan membenci penduduk yang sudi menjadi Heiho. Di sisi lain, ia tidak
dapat berbuat apapun, karena hal itu sudah terjadi dan sulit untuk dihapuskan.
Pada
cerita ketiga yang diangkat, yaitu Jalan
Lain ke Roma, Idrus menampilkan tokoh utama yang juga lelaki bernama Open.
Sosok Open dibuat sebagai lelaki yang selalu memegang teguh kejujuran dalam
hidupnya, seperti apa yang dipesan oleh ibunya. Karena idealismenya itu, Open
beberapa kali berganti pekerjaan. Open yang awalnya menjadi seorang guru
sekolah rakyat, menjadi mualim, menjadi pengarang, dan terakhir menjadi tukang
jahit.
Jalan
hidup Open seolah menjadi cerminan kehidupan Idrus yang juga seorang pengarang.
Open seringkali ditolak oleh penerbit karena tulisannya yang mengkritik
kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Itu sama halnya
dengan Idrus yang mencoba mengkritik masa pemerintahan Jepang melalui karya
sastra dan akhirnya tidak diterbitkan. Akhir cerita ditutup dengan kembali
berkumpulnya Open dengan istrinya Sutirah dan keluarganya setelah ia melupakan
hasratnya untuk menulis opininya.
Dari
ketiga cerita tersebut memiliki hubungan yang cukup kuat. Mulai dari awal
masuknya Jepang dan banyak penduduk yang berminat menjadi salah satu “bagian”
dari Jepang. Lalu menjadi anggota Heiho meski mengalami penolakan dan cemooh
dari penduduk lain. Sampai akhirnya benar-benar mengalami hal buruk dengan
orang Jepang dan menyadari kodrat sebagai orang Indonesia yang harus tetap
menjunjung tinggi kejujuran dan rasa cinta tanah air yang sudah dihanyutkan
oleh pemerintahan Jepang saat itu yang penuh dengan kebohongan dan propaganda.
Idrus
menjadikan dari Ave Maria ke Jalan Lain
ke Roma sebagai salah satu bentuk rekaman sejarah Indonesia pada masa
Jepang yang tidak lama, tetapi meninggalkan kesan mendalam bagi masyarakat
Indonesia saat itu.
[1] Rosida Erowati
dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra
Indonesia, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011),
hlm. 57
[2]
Idrus, dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), hlm. 107