Senin, 11 Agustus 2014

Judul buku       : dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Penulis             : Idrus
Penerbit           : Balai Pustaka
Tahun terbit     : 2010 (Cetakan ke-27)
Tebal               : 176 halaman

Berada dalam masa pendudukan Jepang tentu bukan hal yang mudah untuk para penulis dengan ideologinya saat itu. Terdapat beberapa pengarang yang masih menulis karya-karya untuk kepentingan Jepang sebagai bagian dari propaganda Jepang, baik berupa puisi, novel dan drama.[1] Karya sastra yang mendukung Jepang tentu akan diterbitkan, sedangkan yang tidak mendukung Jepang akan mengalami hal sebaliknya.
Idrus sebagai salah satu pengarang pada masa Jepang telah menyalurkan imajinasinya dalam dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Meskipun demikian, Idrus tidak terpikat dengan lembaga milik Jepang yang memobilisasi potensi seniman budayawan yang bernama Keimin Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan. Banyak karya sastra yang baru diterbitkan setelah kemerdekaan, salah satunya adalah dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus yang baru diterbitkan pertama kali pada tahun 1948.
Kumpulan dua belas karya sastra milik Idrus ini bisa dikatakan merupakan sebuah catatan sejarah yang pernah dialami oleh Indonesia. Mulai dari “Zaman Jepang”, “Corat-coret di Bawah Tanah”, dan “Sesudah 17 Agustus 1945”. Pada “Zaman Jepang” Idrus menuliskan Ave Maria yang juga menjadi cerita pembuka. Kisah cinta segitiga antarsaudara yang akhirnya membuat salah satu di antara mereka harus mengalah. Kisah romantis nan menyedihkan ini disuguhkan Idrus untuk menarik minat pembaca yang lebih mudah tersentuh dengan tema cinta daripada tema lainnya.
Zulbahri harus merelakan istrinya Wartini untuk bersama adik kandungnya Syamsu. Hal itu tentu bukanlah perkara yang mudah. Konflik batin Zulbahri muncul dan terasa begitu kuat saat ia menceritakan kehidupannya setelah meninggalkan Wartini dan bertemu dengan sebuah keluarga. Meskipun pada akhir cerita Zulbahri dituliskan masuk ke dalam barisan jibaku yang menandakan akan ada cerita lainnya mengenai Jepang, cerita cinta segitiga dalam cerpen ini tetap lebih dominan.
Ji-ba-ku atau ber-ji-ba-ku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menyerang musuh dengan jalan menubrukkan dirinya (yang sudah dipersenjatai dengan bom atau alat peledak lainnya) pada musuh. Zulbahri diceritakan mengikuti barisan jibaku bisa saja disebabkan rasa putus asanya karena Wartini lebih memilih Syamsu untuk menjadi pendamping hidupnya. Walaupun pada teks tertulis bahwa semua itu dilakukan dengan tulus untuk Negara.
Pada cerita kedua yang diangkat, yaitu Heiho Idrus menggambarkan seorang lelaki yang sangat ingin menjadi Heiho atau pembantu serdadu Jepang yang terdiri dari orang Indonesia. Kartono hingga rela meninggalkan sang istri Miarti demi keinginannya menjadi Heiho. Sampai akhirnya Miarti menikah lagi dengan lelaki lain dan hamil. Seperti halnya Zulbahri, Kartono tetap pada pilihannya mengikuti Jepang dengan menjadi barisan jibaku dan Heiho.
Jika diperhatikan, ada keterkaitan cerita antara Ave Maria dengan Heiho. Kedua tokohnya, Zulbahri dan Kartono memiliki kehidupan cinta yang hampir sama. Mereka ditinggal oleh wanita yang mereka cintai. Keputusan bulat mereka pun sama. Bahkan bisa dikatakan bahwa narator dalam Ave Maria dengan Heiho merupakan orang yang sama. Dalam Ave Maria baru diceritakan tentang seorang lelaki yang akan masuk barisan jibaku. Sedangkan, dalam Heiho melanjutkan cerita dengan menggambarkan kondisi saat itu jika ingin menjadi Heiho, sudah menjadi Heiho, dan konsekuensi apa yang harus diterima.
Cerita mulai terlihat lebih berkembang saat tokoh seorang tua dan anaknya Akhmad mengomentari Kartono yang sudah menjadi Heiho. Dari dialog orang tua dan anak ini, bisa dikatakan sebagai pertentangan hati Idrus tentang Heiho yang ada di Indonesia. “Mat, lihat itu Heiho. Politik Nippon halus betul. Dicarinya orang-orang udik untuk menjadi Heiho. Bersepatu saja ia belum pandai.[2]”. Setelah mendukung pernyataan sang ayah, si anak ini juga melakukan penentangan perkataan sang ayah. Hal itu dapat diartikan sebagai bentuk kebimbangan Idrus mengenai Heiho. Di satu sisi, ia bisa jadi sangat membenci Jepang yang sudah membentuk Heiho dan membenci penduduk yang sudi menjadi Heiho. Di sisi lain, ia tidak dapat berbuat apapun, karena hal itu sudah terjadi dan sulit untuk dihapuskan.
Pada cerita ketiga yang diangkat, yaitu Jalan Lain ke Roma, Idrus menampilkan tokoh utama yang juga lelaki bernama Open. Sosok Open dibuat sebagai lelaki yang selalu memegang teguh kejujuran dalam hidupnya, seperti apa yang dipesan oleh ibunya. Karena idealismenya itu, Open beberapa kali berganti pekerjaan. Open yang awalnya menjadi seorang guru sekolah rakyat, menjadi mualim, menjadi pengarang, dan terakhir menjadi tukang jahit.
Jalan hidup Open seolah menjadi cerminan kehidupan Idrus yang juga seorang pengarang. Open seringkali ditolak oleh penerbit karena tulisannya yang mengkritik kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Itu sama halnya dengan Idrus yang mencoba mengkritik masa pemerintahan Jepang melalui karya sastra dan akhirnya tidak diterbitkan. Akhir cerita ditutup dengan kembali berkumpulnya Open dengan istrinya Sutirah dan keluarganya setelah ia melupakan hasratnya untuk menulis opininya.
Dari ketiga cerita tersebut memiliki hubungan yang cukup kuat. Mulai dari awal masuknya Jepang dan banyak penduduk yang berminat menjadi salah satu “bagian” dari Jepang. Lalu menjadi anggota Heiho meski mengalami penolakan dan cemooh dari penduduk lain. Sampai akhirnya benar-benar mengalami hal buruk dengan orang Jepang dan menyadari kodrat sebagai orang Indonesia yang harus tetap menjunjung tinggi kejujuran dan rasa cinta tanah air yang sudah dihanyutkan oleh pemerintahan Jepang saat itu yang penuh dengan kebohongan dan propaganda.
Idrus menjadikan dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma sebagai salah satu bentuk rekaman sejarah Indonesia pada masa Jepang yang tidak lama, tetapi meninggalkan kesan mendalam bagi masyarakat Indonesia saat itu.




[1] Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011), hlm. 57
[2] Idrus, dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), hlm. 107

Ruang Ulfa . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates